Selasa, 17 Juni 2008

Di Balik Kenikmatan Nasi Uduk

Oleh Ka'bati

Seorang teman berbisik pada saya. Coba perhatikan, belakangan ini banyak sekali lho tenda nasi uduk pecel lele di Padang. Nasi Ampera, sepertinya kurang me­narik lagi, terlalu berlemak dan mahal.
Beberapa saat setelah menerima bisikan itu, hati saya tergelitik memperhatikan keadaan sekeliling. Dengan motor, saya mengelilingi Kota Padang dari sore sampai malam hari. Dan benar saja, hampir di setiap ruas jalan ada lesehan dan tenda menjual nasi uduk. Padahal ini jelas-jelas bukan makanan Minang, tetapi pembelinya pastilah kebanyakan orang Minang. Bahkan di beberapa tempat, penjualnya malah orang awak.
Ini fenomena yang menarik, dan jika kita tinjau lebih jauh fenomena ini pasti ada kaitannya dengan aspek kebudayaan masya­rakat. Orang memang sering menganggap makanan itu sebagai sesuatu yang alamiah saja. Padahal sebetulnya lebih dari itu. Makanan juga merupakan ekspresi budaya, ada nilai-nilai budaya di balik makanan itu. Ini yang jarang sekali kita pahami. Seperti kawan saya yang berbisik itu, katanya dia memang dianjurkan dokter untuk makan makanan sehat dan mengurangi kolesterol. Dan nasi uduk dengan lalapan segarnya termasuk makanan sehat yang dianjurkan. Dia memilih makanan itu untuk menjaga kesehatan. Nah jelas sekali ada sesuatu dibalik makanan. Ada nilai-nilai budaya di baliknya. Di situ ada nilai kesehatan, disamping rasa dan kepraktisan.
Selain nasi uduk, gerobak-ge­robak makanan bermerek impor seperti Kentucky Fried Chicken (KFC), McDonald (McD), Texas dan sebagainya juga terlihat banyak di sepanjang kota. Saya rasa fenomena ini juga menarik untuk diamati, tidak hanya sebatasi soal budaya mungkin ada persoalan ideologi politis di­baliknya.
Seperti kita ketahui, ideologi terbentuk lewat mass media, melalui televisi, lewat iklan, dan sebagainya. Kita di-brainwash (cuci otak) dahulu. Akhirnya kita menyukai mereka, dan tergantung pada mereka. Kita bangga kalau makan di KFC, McD, Pizza Hut, Dunkin Donat, dan sebagainya. Kita rendah diri kalau makan lotek atau soto. Ini pen­jajahan juga, cuma tidak kelihatan. Tapi jelas kita dijadikan pasar. Padahal sebenarnya di Amerika makanan cepat saji itu disebut makanan sampah, karena kolesterolnya luar biasa tinggi, tidak ada serat. Jadi selain harganya mahal, juga ber­bahaya. Inilah! Kita sudah dijajah, tetapi kita bangga makan makanan sampah. Oleh karena itu, gerakan budaya, sebagai budaya tanding, harus kita dukung. Walaupun gerobak-gerobak junk food yang ada dipinggir jalan dengan merek KFC, CFC atau McD itu hanya numpang tenar dan sebenarnya dikelola oleh pribumi asli, se­benarnya secara budaya ini ikut mendorong perubahan dalam masyarakat. Proses memasak, sifatnya yang praktis dan pen­cantolan nama-nama asing itu membuktikan bagaimana se­sungguhnya mental kita sebagai warga bangsa ini. Kita juga layak mempertanyakan, bagaimana seharusnya kita menempatkan kebanggaan berbangsa kita?
Bagaimanapun, menjamurnya nasi uduk dan menjadi konsumen nasi uduk adalah jauh lebih baik, lebih nasionalis dibanding me­makan makanan junk food bangsa asing. Ternyata makan tak hanya sekedar membuka mulut. Tetapi kita juga harus membuka otak.***

Tidak ada komentar: