Selasa, 17 Juni 2008

Metode SRI, Biaya Murah, Panen Melimpah





Metode penanaman padi berikut ini memang tidak umu. Karena itu tak heran petani yang melakukannya mula-mula dipandang aneh. Bagaimana tidak, selama ini kita tahu sebuah sawah lazimnya tergenang air. Namun, penanaman padi dengan metode System of Rice Intensification (SRI) berikut, justru mengharuskan sawah yang hanya sekadar lembab basah. Artinya, air yang dibutuhkan Cuma separuh dari biasa. Tak hanya itu usia bibit yang dipakai Cuma 7 hari, jarak tanamnya longgar, dan satu lubang tanam hanya dipakai untuk satu bibit. Tapi metode tanam tak lazim ini justru menuai hasil maksimal. Untuk satu hektar lahan, petani bisa memanen hingga 7 ton. Luar biasa.
Metode ini ditemukan pertama kali oleh Henri de Laulanie. Seorang pastu jesuit Prancis yang tinggal di Madagaskar. Pada tahun 1981 ia mendirikan sekolah pertanian di Antsirabe, Madagaskar, dan menemukan metode SRI tersebut pada tahun 1983. ketika diujicoba pertama kali, hasilnya sungguh mengejutkan. Panen padi melimpah ruah.
Apa yang menyebabkan penanaman padi dengan metode SRI mencapai hasil maksimal? Ada beberapa faktor.
Pertama, bibit yang dipakai adalah bibit yang berusia 7 hari pasca penyemaian. Di usia ini bibit baru memiliki dua daun. Manfaatnya, bibit muda baru memiliki akar yang pendek. Ini menyebabkan bibit jadi lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Karena akarnya belum panjang, menanamnya tak perlu dalam, cukup 1-2 cm saja dari permukaan tanah. Selama ini bibit yang umum dipakai adalah bibit berusia 25 hari. Bibit usia 25 hari sudah memiliki akar yang panjang, hingga ketika dipindahtanamkan akarnya sering putus. Selain itu, karena bibit sudah besar, kemampuan adaptasinya juga tidak sebaik bibit usia 7 hari.
Kedua, dalam satu lubang hanya ditanam satu bibit. Manfaatnya untuk menghindari perebutan hara atau makanan sehingga pertumbuhan padi jadi lebih baik. Karena itu tak mengherankan dalam umur 30 hari, satu bibit padi mampu menghasilkan 65 anakan. Bandingkan dengan metode tanam padi konvensional. Selama ini dalam satu lubang ditanam beberapa bibit (kadang mencapai sembilan bibit). Kondisi ini membuat setiap bibit saling berebut makanan hingga pertumbuhan tidak optimal. Rata-rata jumlah anakan yang tumbuh dalam 30 hari pun hanya 29 buah.
Ketiga, jarak tanam lebar. Ukurannya sekitar 40 cm x 30 cm. Dalam 1 hektar jumlah tanaman padi mencapai sekitar 83 ribu. Pada sistem tanam konvensional jarak tanamnya sempit, hanya sekitar 20 cm x 20 cm saja. Dengan jarak pendek ini, satu hektar bisa menanam hingga 250 ribu tanam. Akibat padatnya populasi padi, sinar matahari jadi kurang optimal menembus sela-sela tanaman guna proses fotosintesis. Sementara bila jarak tanam longgar, sinar matahari bisa menembus sela-sela tanaman. Ini membuat proses fotosintesis berlangsung optimal hingga padi bisa cukup mendapat makanan. Karena itu, satu malai padi bisa menghasilkan antara 300-700 butir padi.
Keempat, lahan tidak tergenang air, melainkan hanya sekadar lembab basah. Mengapa demikian? Ternyata air yang sedikit mampu mencegah kerusakan akar tanaman. Air yang tergenang akan menyebabkan rusaknya jaringan akar karena suplai oksigen jadi sedikit. Semakin banyak air, semakin sedikit oksigen terlarut.
Keuntungan lain dari metode ini adalah biayanya yang murah. Selain hemat air, metode ini juga hemat bibit. Untuk luas 1 hektar petani hanya butuh sekitar 10 kg bibit. Itu artinya menekan biaya produksi.
Metode ini mungkin masih baru bagi sebagian petani Indonesia, namun petani-petani luar negeri seperti Tahiland dan Vietnam telah lama menerapkannya.(Trubus online/NKD)

Tidak ada komentar: