Selasa, 17 Juni 2008

Wawancara Fadli Zon. "Kita Butuh Negarawan, Bukan Politisi"


Salah seorang tokoh penting di balik pendirian Partai Gerindra adalah Fadli Zon. Cendikiawan muda asal Luhak Limopuluh Koto ini punya pengalaman panjang dalam dunia politik. Kecewa dan dikecewakan oleh partai politik yang ada, mendorong alumni The London School of Economics and Political Science (LSE) Inggris yang juga sebelumnya ikut mendirikan Partai Bulan Bintang (PBB) dan pernah menjabat sebagai anggota MPR RI (1997-1999) ini mendirikan partai baru. Berikut wawancara Suara Gerindra dengannya.

Kenapa kita harus mendirikan partai baru?
Penting. Saya melihat dan kita semua sadar bahwa partai yang ada belum mampu memperjuangkan kepentingan rakyat, masih perjuangan pribadi dan paling tinggi perjuangan golongan.

Apa target yang ingin dicapai oleh Gerindra?
Yang pertama jelas kita ingin merebut kepemimpinan nasional lewat Pemilu. Selanjutnya kita ingin merebut simpati rakyat sebesar-besarnya dan mendudukkan kader kita di eksekutif dan legislatif sebanyak mungkin. Kita inginkan perubahan. Dan sesuai dengan visi yang kita gariskan, Gerindra bukan ingin melahirkan politisi tetapi negarawan. Ini dua hal yang berbeda.

Dalam kondisi bangsa yang labil dan sangat tergantung pada pihak asing seperti sekarangi, bisakah kita merubah kondisi krisis yang mendera saat ini?
Kalau untuk merubah mudah. tapi kita berani nggak merubah. Masyarakat kita ini masih feodalistik atau patron klien. Kalau nahkodanya ke kanan kita ke kanan, kalau ke kiri kita ke kiri. Jadi tergantung. Sekarang ini pemimpinnya tidak memimpin. Itu masalahnya. Saat ini yang terjadi pemimpin kita ini mempunyai jabatan politik sebagai pemimpin tetapi tidak memutuskan. Sehingga sulit berharap dari pemimpin semacam ini untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Apalagi sangat tunduk dan takluk kepada kepentingan asing. Sehingga segala sektor yang ada di bumi kita ini dikuasai oleh asing. Hal ini tidak terjadi di negara asing.

Sebabnya apa?
Saya kira sebabnya jelas pemimpinan yang gagal. Kita ini selama era reformasi kita tidak melahirkan negarawan. Kita ini hanya melahirkan pemimpin politik yang mempunyai kepentingan jangka pendek dan mempunyai visi pendek juga. Mereka hanya memikirkan dirinya sendiri.Paling jauh kepentingan partai. Negarawan itu memikirkan generasi yang akan datang. Kalau politisi memikirkan pemilu yang akan datang.

Faktor apa ?
Semua faktor itu berawal dari diri kita sendiri. Lingkungan luar memang mempengaruhi. Tapi yang dimaksud dengan diri kita sendiri itu siapa. Pakah rakyat atau pemimpinnya. Menurut saya kesalahan itu pada pemimpin bukan pada rakyat. Kalau rakyat itu hanya ikut-ikutan. Kalau pemimpinnya kencing berdiri rakyat yang kencing berlari. Jadi kalau pemimpinnya korup rakyat pasti ikut korup. Coba kalau pemimpinnya bersih. Mereka bekerja untuk rakyat dengan niat yang tulus. Hasilnya akan lain. Kalau kita bandingkan negara lain, Indonesia ini mirip Rusia.

Miripnya di mana?
Rusia mengalami krisis jauh lebih hebat dari kita, kemudian pemimpinnya juga didikte oleh asing seperti Boris Yeltsin. Tapi suatu saat, muncul pemimpin baru yaitu Vladimir Putin. Kalau kita bandingkan pemimpin yang ada pada zaman reformasi ini tipenya sama seperti Boris Yeltsin. Orang yang ragu-ragu, tunduk pada asing. Kita ini butuh orang seperti Putin. Seorang pemimpin yang berani, tegas dan bersih. Berani juga melawan hegemoni kekuasaan asing. Jadi ketika aset negara di tangan swasta dan mau dijual ke pihak asing, ya ambil kembali untuk kepentingan nasional. Jadi, Putin itu melaksanakan pasal 33 UUD 1945.

Bagaimana caranya untuk keluar dari krisis ini, terutama krisis ekonomi. Apakah kita harus melakukan nasionalisasi atau bagaimana?
Saya kira tidak perlu ngemplang. Juga tidak perlu nasionalisasi seperti yang dilakukan oleh Hugo Chaves maupun Evo Morales. Kita menggunakan mekanisme pasar juga. Artinya kita harus melakukan renegosiasi. Kita sadarkan kekuatan transnational corporation ini bahwa mereka sudah untung. Jangan sampai mereka mendapatkan untung besar tapi rakyat kita tidak mendapatkan apa-apa. Mereka harus berani mengurangi keuntungan.

Bagaimana dengan peran kaum muda?
Saya kira kaum muda siap. Tapi persoalannya justru di kesempatan. Sekarang ini kesempatan kaum muda relatif sedikit. Kita dipaksa dalam masa sekarang ini politik menjadi sesuatu yang mahal. Tidak salah kalau dunia politik ini hanya milik kaum pemodal. Mereka ini yang memodali orang-orang. Yang terjadi kemudian yang dimodali itu menjadi tidak independen. Mereka menjadi perpanjangan kaum pemodal itu. Akhirnya negara kita seperti perusahaan saja. Negeri ini sudah dikapling-kapling oleh kepentingan asing maupun domestik. Rakyat hanya menumpang. Lahan sudah dikuasai oleh asing. Negara menjadi tidak ada. Apa sih fungsinya negara saat ini? Ada atau tidak ada presiden, rakyat jalan terus. Jangan-jangan lebih baik tanpa presiden.

Kira-kira apa yang harus dilakukan?
Peran budaya sangat besar. Kita harus mengedepankan sastra kita, seni kita. Karena ini mengasah dan membentuk karakter. Jadi jangan hanya terlibat dan terjerumus dalam dunia materialisme. Tapi yang lebih penting, bagaimana politik itu di tangan orang yang baik. Menurut saya orang baik-baik harus terjun ke politik. Jangan menonton di pinggiran. Hanya jadi pengamat dan kemudian menjadi penggerutu. Menurut saya mereka harus berkubang di dalam gelanggang. Orang baik itu harus berkuasa. Karena kita berharap akan merubah ke hal-hal yang lebih baik.

Kalau secara politik kita merubah krisis ini dari mana?

Harus ada alternatif. Dan kita harus menciptakannya. Selain itu juga harus ada inisiatif. Siapa yang mengambil inisiatif, mereka itulah yang memimpin. Seperti kembali kepada Budi Oteomo. Seorang Wahidin Soedirohoesodo, ia adalah seorang dokter yang berinisiatif di berbagai bidang. Beliau keliling Jawa, mendirikan majalah Retno Dumilah dan menulis di dalamnya. Awalnya tidak digubris, tapi akhirnya bisa dirubah. Kita butuh orang seperti Wahidin, Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Tirtoadisoerjo, bahkan Seoharto. Sebab mereka orang yang pas pada zamannya. Belajarlah kita kepada para pendahulu. (kbt)

Tidak ada komentar: